Novan Herfiyana

Perjalanan Imajinatif Bandung-Jakarta via Puncak

Setiap melakukan touring, saya biasa melintasi jalan utama. Rasa-rasanya, kecuali “darurat”, kadang saya melewati nonjalan utama –sebutlah jalan-jalan “kecil”. Apalagi di kawasan perkotaan –kota besar. Maklum, di kawasan perkotaan tersedia nama-nama jalan.

Perihal jalan utama, saya kira, secara feeling, anda sudah memakluminya. Jalannya terkesan lurus dari ujung ke ujung hingga “mentok”. Kalau di kawasan Bandung Raya –karena di kabupaten– kita (atau saya) biasa melalui Jalan Kopo-Soreang untuk menuju Ciwidey atau Jalan Mohammad Toha-Dayeuhkolot untuk menuju Banjaran-Pangalengan.

Namun, untuk di kawasan perkotaan, itu tidak mudah –jika tak biasa. Di sini, ada banyak jalan “kecil” dan persimpangan, termasuk jalan-jalan yang “dibuat” satu arah.

Nah, kejadian itu pula yang saya alami ketika melakukan perjalanan Bandung-Jakarta via Puncak. Satu atau dua jalan utama yang saya tahu yaitu Jalan Pajajaran dan Jalan Raya Bogor –atau Jalan Raya Bogor-Jakarta.

Ini merupakan perjalanan saya pada Jumat, 31 Maret 2023, sepekan yang lalu. Ini pun perjalanan pertama saya menaiki motor melewati jalur ini. Kalau mobil –atau kendaraan umum (bus)– saya selalu melintasi Jalan Tol Jagorawi –tentu saja. Sementara itu, Jalan Pajajaran, saya tahu karena saya pernah melewatinya ketika perjalanan Jakarta-Bandung via Puncak beberapa waktu yang lalu.

Tahap perjalanan yang saya persiapkan yaitu Bandung-Simpang Tagog dan Simpang Tagog-Kramatjati –karena tujuannya Kramatjati. Perjalanan yang tidak mudah –karena tidak terbiasa– yaitu ketika memasuki Kota Bogor. (Ini, saya sebut, perjalanan imajinasi “ke mana arus bergerak” he he he. Kelak, ketika pulang, saya penasaran dan mencocokkannya dengan GoogleMap).

Bandung-Jakarta via Puncak

Perjalanan saya dimulai dari tempat tinggal saya di kawasan utara Kota Bandung pada pukul delapan pagi. Menghimpun jarak lebih kurang 56,1 km, saya sudah berada di jembatan Citarum Rajamandala baru atau Gerbang Selamat Datang Taman Asmaul Husna Kabupaten Cianjur pada pukul sembilan lebih lima belas menit.

Perjalanan dilanjutkan. Saya berjalan melintasi Cipanas, Puncak, dan Ciawi. Itu nama-nama daerah yang terkenal untuk dicatat di jalur Cianjur-Bogor. Perjalanan Bandung-Cianjur-Bogor via Puncak ini lalu lintasnya relatif sepi.

Perjalanan saya “mentok” di Masjid Agung Harakatul Jannah atau Simpang Gadog. Dikatakan mentok karena di sini terdapat persimpangan: ke kiri ke jalur Ciawi-Tajur atau lurus ke pintu gerbang tol Jagorawi. Ya, dikatakan mentok pula karena perjalanan Bandung-Jakarta dengan cara naik bus, biasanya berjalan lurus untuk menuju tol Jagorawi. Artinya, kalau naik motor –bukan mobil ya– saya harus belok kiri ke jalur Ciawi-Tajur –sebut juga yang ada “Sukabumi”-nya. Saya mencatat jarak dari Gerbang Selamat Datang Taman Asmaul Husna ke Masjid Agung Harakatul Jannah ini lebih kurang 71 km. Entah mengapa, ketika memeriksanya di Google malah 75 km. Mestinya kan jarak yang saya catat lebih panjang daripada catatan Google. Di Masjid Agung Harakatul Jannah ini, waktu sudah menunjukkan pukul 9.47 WIB.

Di sini, saya mulai meraba-raba. Maklum, saya memasuki sebuah kota –apalagi kota besar. Jalur yang saya ingat –atau persiapkan– yaitu saya mencari Jalan Pajajaran Kota Bogor dan Jalan Raya Bogor. Ternyata untuk mendapatkan kedua jalan itu tidak mudah. (Saya tidak menggunakan aplikasi peta ya).

Kalau tidak salah, memasuki jalur Ciawi-Tajur, saya melewati jalan dua arah dan jalan satu arah. Khusus yang jalan satu arah, ada Kebun Raya Bogor dan Istana Bogor.

Lalu, mungkin salah jalan, saya kehilangan jejak. “Solusi”-nya, dengan feeling, saya mengikuti petunjuk arah Tajur/Jagorawi –tentu saja, Jagorawi saya abaikan karena itu menuju arah tol.

Akhirnya, dengan bermacet-macet ria, saya menemukan Jalan Pajajaran Kota Bogor. Seingat saya, saya melintasi Jalan Ir. H. Juanda dan Jalan Jenderal Sudirman. (Seingat saya, saya melihat Gedung Denpom –Polisi Militer di pojokan dan akhirnya belok kiri).

Karena menjelang shalat Jumat, lima belas menit sebelum adzan, “kebetulan” saya berhenti di Masjid Jenderal Besar Soedirman Bogor. Ada Monumen Peta-lah. Di sini, saya beristirahat lebih kurang satu jam (11.45 WIB s.d. 12.45 WIB).

Perjalanan dilanjutkan. Dari jalan semula (Jalan Jenderal Sudirman), sebagaimana saya sampaikan tadi, saya mengikuti arus saja, saya belok kanan, entah kemana. Pokoknya, seingat saya, saya melewati Jalan Pemuda. Lalu, ada jalan rel kereta api. Saya tidak melewati jalan rel kereta api, tetapi belok kanan ke Jalan Dadali. Suasananya tampak sejuk. Tampaknya ada para penjual bunga.

Setelah itu, saya menemukan jalan besar atau persimpangan besar –ke kiri terdapat tulisan Jl. KS Tubun. Di persimpangan ini, saya malah berjalan lurus karena saya merasa Jalan Raya Bogor ada di sana. (Kalau di jalan kan, kita tidak bisa melihat arah mata angin). Namun, setelah melewati persimpangan ini, saya ragu. Saya pun bertanya kepada seseorang, “Kalau ke Jalan Raya Bogor ke sana?” (Maksudnya ke Jalan KS Tubun). Ia pun menjawab, “Iya, ke sana. Kalau ke sini, ke Puncak”. Saya pun balik lagi dan menuju Jalan KS Tubun. (Kelak, di rumah, saya mengecek GoogleMap bahwa Jalan KS Tubun itu merupakan bagian dari Jalan Pajajaran).

Lalu, saya pun mulai melintasi Jalan KS Tubun hingga “mentok”. Ada persimpangan besar –di atasnya tampak fly over Jalan Tol Lingkar Bogor.

Di persimpangan ini, motor saya sendiri. Sementara mobil, hanya dua. Saya bingung apakah saya salah jalan. Saya menduga, saya harus berjalan lurus karena itu merupakan jalan menuju Jalan Raya Bogor –sebagaimana “bergerak lurus”. Saya bingung, mengapa para pengendara motor di arah berlawanan malah menutupi jalan. Apakah ini para pengendara motor yang “nakal”. Ya, sebagaimana di Bandung juga lah he he he.

Lampu berwarna hijau. Satu mobil –karena hanya ada satu– belok kanan. Saya pun mengikuti. Oh ternyata malah mau masuk tol. Sebagaimana saya sebut tadi, di atas ada Jalan Tol Lingkar Bogor. Begitulah kira-kira.

Karenanya, saya menepikan motor. Saya bertanya ke petugas kebersihan. “Pak, kalau ke Jalan Raya Bogor, ke sana ya?” tanya saja. Bapak itu pun meng-iya-kan. Saya balik lagi ke jalan semula.

Di jalan semula –Jalan KS Tubun– saya bertanya lagi kepada seseorang. Ternyata ia seorang kurir yang sedang mengirim barang. “Kalau ke Jalan Raya Bogor, lurus ya?”. Ia malah menjawab tidak tahu. Lalu, saya bertanya lagi, kalau lurus, mengapa para pengendara motor dari arah berlawanan malah menutupi jalan. “Oh iya, kita harus belok kiri dulu”. (Belok kiri di sini, berarti sejajar dengan fly over tadi). Pantas tidak bisa lurus, saya bergumam dalam hati.

Di sinilah, saya memasuki underpass. Saya khawatir, saya harus berjalan jauh karena membayangkan kalau salah jalan di Jakarta itu sulit ke luarnya. Ya, saya salah jalan. Mestinya, mungkin, sebelum masuk underpass, saya harus berjalan sebelah kiri untuk kemudian balik arah. Jadi, tidak perlu masuk underpass. Entahlah.

Kita ikuti saja cerita saya ya. Dengan perasaan was-was, saya berjalan memasuki underpass (di atas, fly over Jalan Tol Lingkar Bogor). “Beruntung” ada u-turn dan saya pun balik arah. Setelah balik arah, ternyata, itu jalan balik arah lagi. Akhirnya, saya makin was-was. Apalagi saya hampir masuk ke atas yang ternyata jalan khusus untuk mobil (di kiri). Menyadari hal itu, saya mengerem, dan berjalan di kanan. Ya, saya masuk underpass lagi dan akhirnya menemukan u-turn untuk balik arah. Saya pun tiba di persimpangan besar tadi, yang kali ini, untuk belok kiri ke Jalan Raya Bogor. Ya, tepat, saya ternyata sudah memasuki Jalan Raya Bogor.

Di Jalan Raya Bogor, saya sudah tenang. Tinggal berjalan lurus saja hingga Jakarta. Lalu lintas tampak ramai lancar. Perjalanan saya memakan waktu selama lebih kurang dua jam.

Karena macet di Jalan Raya Bogor, akhirnya, saya tiba di Kramatjati menjelang pukul setengah tiga siang. Perjalanan yang “gede di jalan”. Oh ya, di Jalan Raya Bogor, banyak persimpangan lampu merah.

Perjalanan Jakarta-Bandung via Puncak

Perjalanan pulang dari Jakarta ke Bandung via Puncak, menurut saya, lebih “mudah” daripada perjalanan pergi dari Bandung ke Jakarta via Puncak. Satu hal yang pasti, ini bukan soal mitos bahwa perjalanan pulang lebih gampang daripada perjalanan pergi –karena mungkin rutenya sudah diketahui.

Namun demikian, dalam perjalanan kali ini, ada dua insiden kecil yang saya alami –salah satunya, saya kira, kondisional. Pertama, di persimpangan (perempatan) –entah dimana he he he– perjalanan saya dibelokkan dulu ke kiri karena jalannya ditutup. Ketika sudah terjadi, eh, jalan tadi dibuka lagi. Kedua, karena malam –papan petunjuk arah tidak terlihat– saya terlambat belok (untuk balik arah). Saya malah lurus, saya kira, mau masuk jalan tol ha ha ha. Pantesan motor saya sendirian –yang lainnya mobil. Kalau mobil, mungkin terus saja, tak perlu balik arah ha ha ha. (Ini ketika arah Jakarta/Ciawi di kiri dan Tajur/Ciawi di kanan. Saya mestinya di kanan untuk balik arah).

Perjalanan pulang ini dimulai di Kramatjati pada pukul 16.00 WIB. Saya menelusuri Jalan Raya Bogor. Lalu lintas begitu ramai. Ibaratnya “gede di jalan”, perjalanan di Jalan Raya Bogor hingga Kota Bogor –Jalan Pajajaran– ini menghabiskan waktu lebih kurang 2,5 jam.

Sebagaimana saya tulis tadi, perjalanan pulang ini lebih “mudah”. Saya berjalan lurus dengan mengabaikan persimpangan. Ikuti arus. Ujung-ujungnya di Kota Bogor (Jalan Pajajaran). Setelah itu, saya mengikuti arah Tajur hingga tiba di Ciawi (baca: Masjid Agung Harakatul Jannah seperti perjalanan pergi tadi). Sebelumnya, saya sempat salah jalan sebagaimana diceritakan tadi yaitu perihal Jakarta/Ciawi atau Tajur/Ciawi.

Setelah melewati Masjid Agung Harakatul Jannah tersebut, ya sudah perjalanan jauh lebih lancar karena lalu lintas relatif sepi, kecuali nanti di jalur Cianjur-Padalarang-Bandung. Dalam perjalanan Jakarta-Bandung via Puncak ini, saya tiba di Kota Bandung pada pukul 21.43 WIB.

Single Post Navigation

Tinggalkan komentar