Novan Herfiyana

Perjalanan Wisata Bandung-Sindangbarang via Cikadu

Minggu, 30 Agustus 2020, kemarin, saya melakukan perjalanan wisata Bandung-Sindangbarang via Cikadu. Ini merupakan pengalaman pertama saya melewati Kecamatan Cikadu, Kabupaten Cianjur.

Ada kesan tersendiri bagi saya yaitu ternyata, kalau tidak dibangun jalan –atau jalan jelek dibiarkan seperti itu– maka Desa Cikadu dan sekitarnya benar-benar berada di pedalaman. Tidak mudah untuk mendapatkan akses transportasi ke luar.

Berangkat dari rumah saya di kawasan utara Kota Bandung pada pukul 09.16 WIB, saya tiba di Alun-alun Soreang Kabupaten Bandung setelah menghimpun jarak 25,3 km. Tidak jauh berbeda dengan catatan di Google. Hanya berbeda 100 meter. Lalu, lebih kurang 12 km kemudian, saya tiba di Alun-alun Ciwidey. Juga tidak berbeda jauh dari catatan di Google. Juga, beda 100 meter. Artinya, speedometer motor saya tidak rusak.

Saya menceritakan –menulis– seperti itu, karena merasa penasaran ingin mencatat berapa kilometer melintasi jalan di Kecamatan Cikadu, Kabupaten Cianjur. Setidaknya, panjang jaraknya, tidak jauh berbeda. Perjalanan di antara jalan bagus beraspal mulus, jalan aspal yang rusak, dan jalan tanah berbatu. Juga masuk hutan dengan kondisi jalan yang rusak!

Ya, Minggu, 30 Agustus 2020, saya melakukan perjalanan wisata Bandung-Sindangbarang via Cikadu. Sungguh, perjalanan yang berat.

Lebih kurang 14,8 km dari Alun-alun Ciwidey atau 26,8 km dari Alun-alun Soreang itulah, saya baru tiba di Persimpangan Sinumbra –sebut saja begitu: lurus ke Situ Patengan atau Naringgul/Cidaun, belok kanan ke Cipelah dan kemudian Kecamatan Pasirkuda, Kabupaten Cianjur. Gambarannya, 300 meter sebelum Persimpangan Sinumbra terdapat Kantor Desa Patengan dan 100 meter sesudah Persimpangan Sinumbra terdapat Kantor Kecamatan Rancabali. Saya suka di daerah ini karena suasananya asri, ada beberapa rumah di pinggir jalan, di dalam lingkungan perkebunan teh. Waas. Sekarang mah sudah agak ramai. (Oh ya, saya menyebut Persimpangan Sinumbra karena di jalur ini –jalur menuju Cipelah, ada Pabrik Sinumbra).

Dari Persimpangan Sinumbra, lurus, saya meneruskan perjalanan menuju Situ Patengan atau Naringgul/Cidaun karena tujuan perjalanan kali ini akan menuju Cikadu. Dari Persimpangan Sinumbra hingga Persimpangan Situ Patengan/Naringgul hanya berjarak lebih kurang 1,1 km. Saya sudah berada di Persimpangan Situ Patengan (ke kanan) dan Naringgul (ke kiri) ini pada pukul 11.40 WIB.

Persimpangan Cikadu

Di Persimpangan Situ Patengan/Naringgul ini, saya berjalan menuju Naringgul. Beberapa ratus meter kemudian, jalanan tampak kabut. Namun demikian, masih ada orang-orang yang berfoto-foto dengan latar perkebunan teh.

Dalam perjalanan, saya berpapasan dengan iring-iringan truk tentara. Tulisannya Bekangdam III/Siliwangi.

Jarak dari Persimpangan Situ Patengan/Naringgul ke Persimpangan Cikadu ini mencapai 11 km. Di Persimpangan Cikadu, waktu sudah menunjukkan pukul 12.02 WIB. Di Persimpangan Cikadu –sebut saja begitu–, lurus akan menuju Naringgul/Cidaun dan ke kanan tentu saja akan menuju Cikadu.

Di Persimpangan Cikadu ini memang tidak atau belum ada papan petunjuk berwarna hijau. Keadaan lalu lintasnya sepi, kecuali jika ada orang atau kendaraan yang terlihat ke arah sana atau berpapasan dengan kita. Ya, di sini, saya bermain imajinasi he he he. Seperti masuk ke jalan kompleks perumahan di kawasan perbukitan yang jauh di sana. Keadaan jalan masih bagus beraspal mulus dengan garis marka. Satu-satunya petunjuk di Persimpangan Cikadu ini yaitu ada tulisan Kecamatan Cikadu di sebuah batu besar atau tembok.

Beberapa meter sesudah memasuki Persimpangan Cikadu, jalan bagus beraspal mulus dengan garis marka.

Jalan bagus beraspal mulus. Saya menyebutnya, seperti sirkuit sendiri. Namun, jalan bagus beraspal mulus ini hanya lebih kurang 6,3 km. Di tengah perjalanan, di pinggir kiri dan kanan jalan terdapat pohon-pohon tinggi. Tampak sejuk. Cocok untuk foto-foto. Tidak jarang, di tempat ini terdapat beberapa pedagang.

Sesudah 6,3 km itu, ada tulisan “Hati-hati. Jalan Berlubang-lubang” atau “Kawasan Rawan Longsor dan Pohon Tumbang”. Ya, jalan aspal itu rusak, tampak bolong-bolong. Di kiri dan kanan jalan tampak pohon-pohon.

Jalan aspal yang rusak.

Saat itu, di jalur ini, ada iring-iringan tentara. Itu mungkin tentara yang diangkut truk ketika berpapasan di Rancabali tadi. Suasananya masih hutan, tetapi terbuka. Sepi, tidak ada satu pun permukiman warga, termasuk warung sekalipun.

Dari tadi, tidak tampak pemukiman warga. Motor yang melintas pun hanya beberapa. Sepi. Kelak, ketika menjumpai pemukiman warga, saya beristirahat. Di depan lapangan yang terdapat camping para tentara. Ada beberapa truk dan mobil tentara yang diparkir di pinggir lapangan.

Saya melanjutkan perjalanan. Jalan berkelok-kelok.

Saya pun tiba di Tugu Desa Cikadu. Jarak dari Persimpangan Cikadu menuju Tugu Desa Cikadu ini menghimpun 25,4 km. Sebagai catatan, sepanjang perjalanan tadi, lebih tepatnya sebelum Tugu Desa Cikadu, saya tidak menemukan tanda-tanda berupa tulisan bahwa kita berada di mana. Minimal kan ada bangunan SD atau lembaga apa. Sementara info yang saya dapatkan dari tempat istirahat tadi, saya berada di Desa Cisaranten, Kecamatan Cikadu. Itu pun bertanya-tanya, bukan melihat atau membaca tulisan.

Di Tugu Desa Cikadu, saya menepikan motor. Berfoto-foto sambil beristirahat. (Sebetulnya, sejak tadi juga begitu he he he. Untuk keperluan dokumentasi). Tampaknya, ini “pusat kota” Desa Cikadu.

Lebih kurang 8 km dari Tugu Desa Cikadu, jalan aspal masih ada meskipun tidak terlalu mulus.

Sayang, setelah itu, keadaan jalan benar-benar hancur. Itu menurut pandangan saya. Jalan tanah yang berbatu. Ya, jalan aspal juga, tetapi hampir menjadi jalan tanah yang barbatu. Beruntung, saat itu, tidak hujan. Kalau hujan, saya kira, perjalanan saya akan tergelincir karena licin. Selain itu, masuk hutan. Begitulah kira-kira. Namun demikian, hal itu masih bisa “ditemani” oleh beberapa rumah warga –setidaknya warung. Bandingkan dengan jalan bagus, tetapi tanpa perumahan warga.

Saya lupa, apakah jalan yang hancur itu lebih kurang 12,7 km atau 22,7 km –karena mungkin saya salah mencatat. Namun, satu hal yang jelas, kecepatan motor 10-20 km/jam. Malah saya memperhatikan di angka 10 km/jam. Ban motor bisa selip di jalan tanah yang berbatu. (Kalau diperhatikan, pengendara motor yang warga sekitar malah asyik melintasinya. Berdasarkan pengamatan sekilas, sesudah Tugu Desa Cikadu ini aktivitasnya lebih ramai ke arah Sindangbarang daripada ke arah Bandung. Bisa jadi karena pemukiman warga banyak berada di daerah ini).

Di jalur ini, saya berpapasan dengan lima mobil elf –sepertinya trayek Cianjur-Sindangbarang-Cikadu. Dua di antaranya sedang mengetem.

Jalan benar-benar rusak. Mau balik lagi ataukah meneruskan perjalanan? Kalau mau lancar di perjalanan, balik lagi memang lebih baik. Namun, karena saya ingin tahu, ya saya meneruskan perjalanan. Pengalaman baru.

Ketika saya melihat tulisan SDN Sumberbakti di Kecamatan Sindangbarang, saya yakin bahwa perjalanan melintasi jalur ini akan segera berakhir. Saya senang. Ya, SDN Sumberbakti itu berada di Desa Muaracikadu, Kecamatan Sindangbarang. “Loh, kok, Sindangbarang? Bukankah tadi saya melintasi Cikadu?” gumam saya. Waduh, ternyata masih jauh juga.

Keadaan jalan kembali bagus sejauh 2 km dan bermuara di Persimpangan Muaracikadu/Sindangbarang.

Kini, saya memasuki jalan bagus lagi. Kecepatan motor sudah bisa 30-40 km/jam atau 40-60 km/jam. Akhirnya, perjalanan di jalan yang bagus sejauh 2 km itu bermuara di Persimpangan Jalan Muaracikadu/Sindangbarang. Tadinya, saya menduga bahwa muaranya di sebelah selatan Sindangbarang, tetapi ternyata di sebelah barat Sindangbarang. Itu versi saya. Artinya, perjalanan di jalur Cikadu ini berakhir di Jalan Raya Sindangbarang-Cianjur –selatan ke utara– dan bukan di lintas selatan Jawa Barat (Sindangbarang) –dari barat ke timur.

Alun-alun Sindangbarang

Kini, saya sudah berada di Jalan Raya Sindangbarang-Cianjur. Di Persimpangan Muaracikadu/Sindangbarang ini, waktu sudah menunjukkan pukul 15.23 WIB. Saya belok kiri untuk bergerak menuju Alun-alun Sindangbarang. Jarak dari Persimpangan Muaracikadu/Sindangbarang menuju Alun-alun Sindangbarang ini menempuh lebih kurang 5 km.

Alun-alun Sindangbarang, Kabupaten Cianjur.

Inilah Alun-alun Sindangbarang. Persimpangan: Agrabinta (ke kanan) dan Cidaun (ke kiri). Lalu, lebih kurang 2,8 km kemudian, saya mengisi BBM di SPBU Sindangbarang. Inilah SPBU yang ditemui sejak dari Ciwidey.

Melintasi kawasan pantai selatan di Sindangbarang lagi begitu mengasyikkan. Dari kejauhan tampak laut lepas. Tidak jarang pula pertambakan. Wow, angin lautnya begitu kuat.

Jalur lintas selatan Jawa Barat di kawasan Sindangbarang, Kabupaten Cianjur (Minggu, 30 Agustus 2020).

Saya tiba di Persimpangan Cidaun pada pukul 16.03 WIB. Awalnya, keadaan jalan bagus dan kemudian bolong-blong. Meski ada jalan yang rusak, kecepatan motor saya bisa 40-60 km/jam. Setidaknya, rata-rata 40 km/jam-lah. Jika melihat speedometer, sesekali sih lebih. Entahlah, apakah sudah “terlatih” di jalan yang jelek di Cikadu tadi atau bukan. Pokoknya, ada rasa yang aneh. Gemas, barangkali ha ha ha.

Setelah beberapa ratus meter melewati Curug Ceret, hujan rintik-rintik. Setelah beberapa kali melewati dan “meninggalkan” iring-iringan mobil, motor saya dibiarkan melambat. Kini, saya berada di belakang iring-iringan mobil dan motor yang ada di depannya. Hanya dua mobil dan satu motor, belum termasuk motor saya.

Saya kira, perjalanan motor saya yang melambat bukan hanya karena kabut dan/atau hujan rintik-rintik, tetapi ban belakang motor saya seperti ngepot ketika berbelok –nanti akan saya periksa lagi. Khawatir terjadi apa-apa di perjalanan.

Namun, memasuki belokan-belokan di perkebunan teh Rancabali –jauh sebelum Persimpangan Situ Patengan– saya sudah siap menyalip lagi. Saya mencoba apakah ban belakang motor saya memang ngepot atau tidak. Alhamdulillah, normal, selamat. Bagaimana pun saya tetap akan memeriksa kondisi motor.

Saya mencatat, jarak dari Persimpangan Cidaun ke Persimpangan Situ Patengan/Naringgul ini mencapai lebih kurang 52,6 km. Saat itu, waktu sudah menunjukkan pukul 17.39 WIB.

Jalur Rancabali-Ciwidey-Soreang benar-benar padat. Saya kira, mereka pulang berwisata di jalur ini. Sebaliknya, jalur di arah berlawanan relatif kosong, terutama sebelum Soreang.

Singkat cerita, dalam perjalanan lebih kurang dua jam, saya sudah berada di rumah saya di kawasan utara Kota Bandung. Ya, menjelang pukul delapan malam.

Single Post Navigation

6 thoughts on “Perjalanan Wisata Bandung-Sindangbarang via Cikadu

  1. Haddy Permadi on said:

    wah, ini yang saya cari2 selama ini, trip report ke cidaun via cikadu. terimakasih sudah berbagi. ingin menanyakan, dari cikadu ke sindagbarang lalu cidaun, jalannya layak untuk motor matic kah?

    • novanherfiyana on said:

      Saya kan naik motor matic. Enaknya sih motor trail untuk melintasi jalan tanah yang berbatu. Itu untuk Cikadu-Sindangbarang yang saya ceritakan (lebih kurang belasan kilometer). Kalau selain jalur itu, keadaan jalannya biasa, beraspal.

      Terima kasih juga sudah mengunjungi blog ini.

  2. Zaky on said:

    Kalo medan lebih ekstrim mana kang, via cikadu atau via naringgul?

    • novanherfiyana on said:

      Cikadu-lah. Kalau Naringgul, meski kini keadaan sebagian jalannya ada yang rusak, jalannya tetap beraspal dari ujung ke ujung. (Namun, Cikadu juga, dari ujung ke ujung itu beraspal. Hanya di tengahnya, belasan kilometer, jalannya berupa tanah yang berbatu. Kurang nyaman. Apalagi kalau hujan, ban bisa selip).

  3. Anonim on said:

    oktober 2021 saya pernah lewat ke jalan cikadu, bukan sengaja lewat tapi terseasat..
    ngeri ngeri sedap ..

Tinggalkan komentar